Inspiratif, Kini Jutsuka Tembus Ritel Modern
Bulukumba,- Mengawali profesi sebagai penyuluh bantu perikanan, Rizki (39 tahun) merintis usaha perikanan ikan kering yang diberi nama Jutsuka dan Kusuka untuk usaha ikan asin.
Justsuka merupakan singkatan dari Juku kaloToro Kusuka dan jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya “saya suka ikan kering”.
Kusuka sendiri diambil dari salah satu program Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yaitu Kartu Pelaku Usaha Perikanan sebagai salah satu identitas untuk para pelaku usaha kelautan dan perikanan baik itu yang berprofesi sebagai nelayan, pembudidaya, pemasar dan pengolah hasil perikanan.
Awal merintis usahanya 3 (tiga) tahun lalu, Ia juga sempat mengalami jatuh bangun oleh karena banyak kendala yang dihadapi, mulai dari ilmu pengolahan ikan yang belum mencukupi, modal dan teknik pemasaran yang masih gagap terhadap digitalisasi zaman.
Namun dengan semangat dan keuletan membangun usaha ikan keringnya, akhirnya Rizki kini mampu menembus pasar ritel modern baik lokal maupun ritel nasional dengan 2 (dua) jenis produk olahan ikan yaitu JUTSUKA (Ikan Kering) dan KUSUKA (Ikan Asin).
Motivasi Merintis Usaha
Awalnya, Rizki terkesan setelah berkunjung ke salah satu swalayan ritel (Alfamidi) di Kecamatan Bontobahari, secara tidak sengaja melihat ada produk ikan kering yang diproduksi oleh kelompok di kabupaten lain.
Ia pun merasa malu karena Bulukumba ini juga tidak kalah dengan potensi kelautan dan perikanannya, namun tidak produk perikanan Bulukumba terpajang di swalayan ritel sekelas Alfamidi itu.
Pada saat itu, Rizki pun langsung menemui salah satu kelompok nelayan binaan menyampaikan perihal tersebut dan menyatakan siap untuk bekerjasama terkait suplai bahan bakunya.
Ikan kering memang olahan ikan yang sangat sederhana dan tradisionil. Namun saat mencoba mengolah dan mengemas yang lebih baik, ternyata beberapa kali gagal karena salah dalam hal penanganan.
Ikan yang diolah banyak terbuang karena tidak layak konsumsi sehingga kadang akhirnya menjadi pakan ternak atau pakan ikan lele saja.
Tentunya proses yang gagal ini yang membuat penasaran hingga menemukan komposisi yang tepat dalam memproduksi.
Produksi yang ketiga kali Jutsuka yang dianggap sudah layak dipasarkan adalah dari jenis ikan Kakatua yang dipesan oleh salah seorang mahasiswa di Jogjakarta yang terkena dampak lockdown saat Pandemi Covid-19.
Produksi Jutsuka selanjutnya disalurkan saat Dinas Perikanan melakukan pembagian bahan pokok di salah satu desa Kecamatan Kindang yang terisolasi karena pandemi.
Yang menarik dan unik dari usaha ini, rumah produksi Jutsuka berada di tengah-tengah wilayah komoditas pertanian seperti karet, kakao, jagung, dan kelapa, tepatnya di Desa Balleanging Kecamatan Ujungloe, atau 12 kilometer dari pesisir pantai uang yang terdekat.
Modal Pertama Membangun Jutsuka
Modal awal membangun usaha Jutsuka hanya sebesar lima juta rupiah, modal ini adalah hasil menabung yang dikumpul setiap bulannya, modal Rp5 juta tersebut digunakan untuk membeli peralatan seperti : Ikan 50 Kg, Frezer kecil 1 buah, Gabus Sterefoam 3 buah, Penjemuran ikan (para-para dari bambu), Garam kasar 1 karung.
Adapun total aset sekarang sudah berkembang menjadi sekitar Rp40 juta yang terdiri dari : Peralatan produksi dan bangunan pengolahan.
Metode Pemasaran yang Dijalankan
Produk Jutsuka dan Kusuka besutan Rizki ini tidak langsung laris di pasaran, awalnya hanya dipasarkan di pasar-pasar tradisional kemudian melakukan kerjasama dengan kelompok binaan bidang pemasaran perikanan.
Rizki juga menitip barangnya di toko-toko kelontong sambil memasarkan melalui media social (facebook, Wa, Instagram) dan Market Place (Shoope, Tokopedia, Blibli, Lazada, Padi-UMKM).
Setelah menggunakan berbagai media pemasaran tersebut akhirnya dicoba memasarkan ke rite…