Tomy Tampil sebagai Pembicara di Talk Show Walhi

Tomy Tampil sebagai Pembicara di Talk Show Walhi
Wakiol Bupati Tomy satria Yulianto saat berbicara di Talk Show SELAMATKAN RIMBA TERAKHIR yang diadakan oleh WLHI Sulsel
Tomy Tampil sebagai Pembicara di Talk Show Walhi
Tomy Tampil sebagai Pembicara di Talk Show Walhi

 

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan mengundang Wakil Bupati Bulukumba Tomy Satria Yulianto untuk tampil sebagai pembicara pada Talkshow Selamatkan Rimba Terakhir yang digelar di Red Corner Cafe Makassar, Minggu 14 April 2019. Selain Tomy, Walhi Sulsel juga menghadirkan narasumber Prof Yusran Yusuf yang merupakan Ketua Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) Sulawesi Selatan. Bupati Luwu Utara Indra Putri Indriani yang sedianya juga hadir sebagai narasumber berhalangan hadir, namun dia diwakili oleh Wakil Bupati Luwu Utara M Thahar Rum.

Direktur Eksekutif Walhi Muhammad Al Amin dalam pengantarnya mengemukan kegiatan ini sebagai upaya untuk menginformasikan semua pihak terkait  pelestarian hutan. Selain talkshow pihaknya juga mengisi kegiatan Festival Selamatkan Rimba Terakhir dengan konser musik.

Pemilihan kata “rimba” pada event tersebut, tambah Al Amin oleh karena kata “hutan” saat ini sudah didominasi paradigma pemerintah, mulai dari nama, istilah, fungsi bahkan untuk peruntukan hutan itu sendiri. “Makanya kita menggunakan kata “rimba” untuk mengembalikan pemahaman “hutan” seperti konsep pengelolaan oleh masyarakat,” ungkapnya.

Menurutnya, konsep kearifan lokal dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat adalah konsep pengelolaan yang lahir, hidup dan dipatuhi oleh masyarakat, dan terbukti mampu menjaga kelestarian hutan.

Terkait hal tersebut Tomy Satria, menyampaikan dalam perspektif pemerintah harus disadari bahwa kita terlambat menyadari tidak adanya role model pengelolaan hutan secara baik. Harus diakui bahwa hutan yang dikelola oleh pemerintah selama ini terjadi banyak persoalan, termasuk soal bagaimana masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Terjadi isu-isu perambahan, dan isu okupasi di dalam hutan.

Atas berbagai persoalan-persoalan tersebut, di Bulukumba sekitar tahun 2009 muncul kesadaran bersama bahwa pengelolaan hutan ini tidak bisa dilakukan oleh negara saja, karena bagaimana pun ada interaksi dengan masyarakat sekitar.

“Olehnya itu di Bulukumba pada akhirnya melahirkan Peraturan Daerah Hutan Kemasyarakatan sebagai resolusi konflik moderat dari tekanan-tekanan pada kawasan hutan yang ada,” beber Tomy.

Regulasi ini dinilai sebagai solusi moderat ketika proporsi pengelolaan hutan masih dikuasai oleh negara. Hutan kemasyarakatan ini adalah konsep dimana masyarakat di sekitar hutan diberikan akses dan ruang pemanfaatan sumber daya hutan yang ada di Kabupaten Bulukumba.

Selain model hutan kemasyarakatan, Pemerintah Kabupaten Bulukumba bersama dengan pihak NGO dan masyarakat juga menggagas model bagaimana negara atau pemerintah memberikan pengakuan untuk pengelolaan hutannya, dalam hal ini masyarakat Adat Ammatoa Kajang. Oleh karena memang secara faktual komunitas Adat Ammatoa Kajang telah memperlihatkan bagaimana pola-pola pemanfaatan hutan yang lestari berdasarkan kearifan lokal.

“Sampai hari ini, kearifan lokal itu memperlihatkan eksistensi interaksi antara masyarakat dengan hutannya,” imbuhnya.

 Untuk mengakui hutan adat, maka sejak tahun 2008 digagas rancangan peraturan daerah tentang hutan adat. Namun ternyata untuk menetapkan hutan tersebut sebagai hutan adat, harus terlebih dahulu menetapkan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat itu sendiri.

“Itulah kemudian setelah melewati serangkaian proses, maka di tahun 2015 ditetapkanlah Perda tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang, dan setelah itu keluar SK Menteri tentang penetapan Hutan Adat Ammatoa,” papar Tomy yang sebelum menjadi Wakil Bupati merupakan aktifis lingkungan.

Sementara itu, Prof Yusran mengemukakan bahwa politik kehutanan adalah ilmu bagaimana mengelola hutan supaya manfaatnya bisa lestari yang ujung-ujungnya untuk kehidupan masyarakat.

“Ketika berbicara tentang manfaat hutan untuk masyarakat, maka tentu yang dimaksud adalah masyarakat yang ada di sekitar hutan dulu.

Prof Yusran mengakui bahwa kebijakan kehutanan selama ini tidak memihak kepada masyarakat. Kalau kita balik melihat pada masa pemerintahan yang lama, maka 99 persen itu ijin-ijin pengelolaan hutan hanya diberikan kepada koorporasi.

“Nanti setelah reformasi baru ada pergeseran pemberian izin atau hak kelola kepada masyarakat,” bebernya.

Dikatakannya ada tiga isu besar ketika berbicara tentang hutan, pertama isu degradasi bersama turunnnya seperti bencana banjir bandang. Kedua isu ketidak-adilan, dimana selama ini pemberian porsi pengelolaan hutan hanya kepada koorporasi. Kemudian yang ketiga adalah isu tentang tata kelola hutan, ini sangat penting karena hutan ini adalah sesuatu yang sangat luas, dimana berbeda dengan area pertanian dan perkebunan yang pemiliknya sudah jelas.(A3/Humas)